Ketika basah itu
mengusapku lembut, rerintikan kecil melembabkan kerudungku, senyummu
melengkapi. Hatiku berdesir. Otot bibirku melengkungkan senyum. Nefron
konektorku seperti sedang berpesta. Bunga-bunga tumbuh di hatiku. Aku senang
sekali! Hehe.
Mata kita saling
meluapkan rindu. Kau tawarkan jas hitam itu kepadaku, sebagai tanda
kekhawatiranmu. Aku menolak, walau sejujurnya aku sangat senang apabila bisa
memakainya—seolah aku berada dalam pelukanmu. Hei, aku sangat canggung! Aku
seperti sedang syuting di sinetron-sinetron labil yang sering aku cibir.
Ternyata begini rasanya; jalan berdua denganmu—meskipun harus berjarak,
berseberangan—di tengah hujan, dengan obrolan mini yang begitu kuharapkan sejak
aku mengenalmu. Senyum lugu dan caramu berjalan, lucu sekali. Aku sempat merasa
bahwa aku sedang bermimpi ketika kau bisa-bisanya mengambil hatiku.
Ingin rasanya aku
mengacak-acak rambutmu yang berantakan itu. Membuatnya semakin berantakan, dan
membuatmu semakin sebal. Sebalmu itu, aku sangat suka.
Mungkin kau memang
masih seperti anak kecil; manja, sensitif, cemburuan. Haha. Tapi dengan semua
itu, aku bahagia! Aku merasa benar-benar milikmu ketika kau cemburu, ketika kau
membicarakan masa laluku dengan emotikon-emotikon cemberut. Aku suka cara-caramu
berlagak seperti anak kecil. Kamu asyik banget, sih? Ah!
Hujanku, berjalan
tanpa alas kaki sejajar berseberangan denganmu disusul dengan gombalmu yang
super-sederhana itu, menyempurnakan hari-hariku! Bagaimana bisa, hm? Aku
harusnya kau ajari, agar kau juga bisa merasakan betapa bahagianya aku
bersamamu, jadi kita merasakan bahagianya sama-sama!
Sesungguhnya
bahagiaku tak perlu serumit itu—kalau kau anggap itu rumit. Hanya dengan berdoa
untukmu kepada-Nya, sudah membuatku bahagia tak kira-kira. Karena dengan itu,
aku jadi tahu bahwa aku masih mampu mendoakanmu, dan kau ada yang mendoakan.
Hehe.
Halo, sayangku?
Aku sudah boleh memanggilmu sayang? Kalau tak boleh, mengapa? Padahal aku sudah
sangat menyayangimu! Kalau boleh, ya sudah. Biar aku, kamu, dan Allah yang
tahu. Ya?
Kembali kepada
sore itu. Sore yang tak tanggung-tanggung membuatku membayangkanmu sepanjang
hari hingga kini. Sore yang menyuburkan bunga-bunga perasaanku terhadapmu
dengan air hujannya.
Derap langkahmu
kuresapi. Ini pertama kalinya aku berdua denganmu! Ah, betapa senangnya! Aku
jadi bisa mengamatimu dalam jarak dekat, merasakan kau yang selalu ada untukku,
merasakan degup jantung kita yang berdetak cepat beriringan. Kau memang tidak
sekeren segerombolan itu, tapi kesederhanaanmu yang menyempurnakan! Ah, tidak,
kau menyihirku menjadi secerewet ini tentang cinta.
Terimakasih, menemaniku
sore itu. Seolah punya sayap, sampai sekarang aku merasa masih belum sempurna
memijak bumi. Karena aku masih tersangkut di hatimu.
Dan akan selamanya
tersangkut. Saling mendoakan, ya?
Bumi
hujanku dan hujanmu, 8 Mei 2016
Aku, dan hati yang kau buat senyum terus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar