Dan sebaiknya kita begini saja, mengikuti alur yang kamu buat sendiri.
Sebelumnya kita pernah bahagia bersama, mengempas setiap waktu yang berusaha mematikan kita. Kita pernah menembus hujan yang dengan kejamnya menumpas segala aktivitas di bumi, berdua. Dan tanpa kita sadari, bahwa kita juga mengerti bahwa tak ada yang abadi; termasuk kita.
Sebelumnya aku selalu memikirkanmu, tak peduli dalam bangun maupun tidurku. Aku selalu merindukanmu, dalam jarak dekat maupun jauh. Aku selalu bahagia karenamu, tak peduli berapa banyak yang ingin merenggutnya.
Sebelumnya aku merasa sebagai ratu di dunia, merasa terbahagia. Aku percaya bahwa akulah yang meratui segala bungamu. Aku percaya bahwa akulah yang selalu kau rindui, kau ingini hadirnya. Aku percaya bahwa hanya aku yang bisa membuatmu tersenyum semanis itu.
Dan sebelumnya, kau buat aku merasa teristimewa.
Tapi itu semua sebelumnya, sebelum kini aku ingin membuang segala kenangan tentang apa yang disebut dengan 'kita'. Hal paling pahit di sini adalah kenyataan bahwa yang sebabkan ini semua adalah kamu. Kamu sutradaranya.
Aku sudah sabar-sabar menghadapimu. Sudah ekstra-kuat menerima setiap berita yang terlintas di telinga. Terlampau bodoh untuk percaya bahwa bukan seperti itu kenyataannya. Ah, tak ada habisnya jika kuteruskan ini semua.
Terimakasih telah pernah menyemangatiku. Terimakasih telah pernah menemaniku merasakan indahnya berhujan. Terimakasih telah pernah memilihku di antara mereka yang lebih awal dekat denganmu ketimbang aku.
Tak apalah, Fi. Karenamu, aku jadikan ini semua pelajaran bahwa tak tentu yang kukira mencintaiku adalah yang juga menjadikan aku satu-satunya di hatinya. Beres.
Tapi mengapa aku masih menangis? Padahal kurasa aku kuat..
Sebelumnya kita pernah bahagia bersama, mengempas setiap waktu yang berusaha mematikan kita. Kita pernah menembus hujan yang dengan kejamnya menumpas segala aktivitas di bumi, berdua. Dan tanpa kita sadari, bahwa kita juga mengerti bahwa tak ada yang abadi; termasuk kita.
Sebelumnya aku selalu memikirkanmu, tak peduli dalam bangun maupun tidurku. Aku selalu merindukanmu, dalam jarak dekat maupun jauh. Aku selalu bahagia karenamu, tak peduli berapa banyak yang ingin merenggutnya.
Sebelumnya aku merasa sebagai ratu di dunia, merasa terbahagia. Aku percaya bahwa akulah yang meratui segala bungamu. Aku percaya bahwa akulah yang selalu kau rindui, kau ingini hadirnya. Aku percaya bahwa hanya aku yang bisa membuatmu tersenyum semanis itu.
Dan sebelumnya, kau buat aku merasa teristimewa.
Tapi itu semua sebelumnya, sebelum kini aku ingin membuang segala kenangan tentang apa yang disebut dengan 'kita'. Hal paling pahit di sini adalah kenyataan bahwa yang sebabkan ini semua adalah kamu. Kamu sutradaranya.
Aku sudah sabar-sabar menghadapimu. Sudah ekstra-kuat menerima setiap berita yang terlintas di telinga. Terlampau bodoh untuk percaya bahwa bukan seperti itu kenyataannya. Ah, tak ada habisnya jika kuteruskan ini semua.
Terimakasih telah pernah menyemangatiku. Terimakasih telah pernah menemaniku merasakan indahnya berhujan. Terimakasih telah pernah memilihku di antara mereka yang lebih awal dekat denganmu ketimbang aku.
Tak apalah, Fi. Karenamu, aku jadikan ini semua pelajaran bahwa tak tentu yang kukira mencintaiku adalah yang juga menjadikan aku satu-satunya di hatinya. Beres.
Tapi mengapa aku masih menangis? Padahal kurasa aku kuat..