Rabu, 11 Mei 2016

Hujan (Berdua) Bersamamu

Ketika basah itu mengusapku lembut, rerintikan kecil melembabkan kerudungku, senyummu melengkapi. Hatiku berdesir. Otot bibirku melengkungkan senyum. Nefron konektorku seperti sedang berpesta. Bunga-bunga tumbuh di hatiku. Aku senang sekali! Hehe.
Mata kita saling meluapkan rindu. Kau tawarkan jas hitam itu kepadaku, sebagai tanda kekhawatiranmu. Aku menolak, walau sejujurnya aku sangat senang apabila bisa memakainya—seolah aku berada dalam pelukanmu. Hei, aku sangat canggung! Aku seperti sedang syuting di sinetron-sinetron labil yang sering aku cibir. Ternyata begini rasanya; jalan berdua denganmu—meskipun harus berjarak, berseberangan—di tengah hujan, dengan obrolan mini yang begitu kuharapkan sejak aku mengenalmu. Senyum lugu dan caramu berjalan, lucu sekali. Aku sempat merasa bahwa aku sedang bermimpi ketika kau bisa-bisanya mengambil hatiku.
Ingin rasanya aku mengacak-acak rambutmu yang berantakan itu. Membuatnya semakin berantakan, dan membuatmu semakin sebal. Sebalmu itu, aku sangat suka.
Mungkin kau memang masih seperti anak kecil; manja, sensitif, cemburuan. Haha. Tapi dengan semua itu, aku bahagia! Aku merasa benar-benar milikmu ketika kau cemburu, ketika kau membicarakan masa laluku dengan emotikon-emotikon cemberut. Aku suka cara-caramu berlagak seperti anak kecil. Kamu asyik banget, sih? Ah!
Hujanku, berjalan tanpa alas kaki sejajar berseberangan denganmu disusul dengan gombalmu yang super-sederhana itu, menyempurnakan hari-hariku! Bagaimana bisa, hm? Aku harusnya kau ajari, agar kau juga bisa merasakan betapa bahagianya aku bersamamu, jadi kita merasakan bahagianya sama-sama!
Sesungguhnya bahagiaku tak perlu serumit itu—kalau kau anggap itu rumit. Hanya dengan berdoa untukmu kepada-Nya, sudah membuatku bahagia tak kira-kira. Karena dengan itu, aku jadi tahu bahwa aku masih mampu mendoakanmu, dan kau ada yang mendoakan. Hehe.
Halo, sayangku? Aku sudah boleh memanggilmu sayang? Kalau tak boleh, mengapa? Padahal aku sudah sangat menyayangimu! Kalau boleh, ya sudah. Biar aku, kamu, dan Allah yang tahu. Ya?
Kembali kepada sore itu. Sore yang tak tanggung-tanggung membuatku membayangkanmu sepanjang hari hingga kini. Sore yang menyuburkan bunga-bunga perasaanku terhadapmu dengan air hujannya.
Derap langkahmu kuresapi. Ini pertama kalinya aku berdua denganmu! Ah, betapa senangnya! Aku jadi bisa mengamatimu dalam jarak dekat, merasakan kau yang selalu ada untukku, merasakan degup jantung kita yang berdetak cepat beriringan. Kau memang tidak sekeren segerombolan itu, tapi kesederhanaanmu yang menyempurnakan! Ah, tidak, kau menyihirku menjadi secerewet ini tentang cinta.
Terimakasih, menemaniku sore itu. Seolah punya sayap, sampai sekarang aku merasa masih belum sempurna memijak bumi. Karena aku masih tersangkut di hatimu.
Dan akan selamanya tersangkut. Saling mendoakan, ya?

Bumi hujanku dan hujanmu, 8 Mei 2016


Aku, dan hati yang kau buat senyum terus

Senin, 02 Mei 2016

Kenalimu

Di hari yang tak pernah aku faham apa yang akan terjadi.
Di hari yang bunga-bunga tumbuh di sela rerumputan.
Di hari yang Tuhan mempertemukan kita.
Tatapanmu menabrak pandanganku. Mata kita beradu, bertukar isyarat. Isyarat tanpa arti.
Lalu aku mengerti, jabat hatimu kutangkap. Dan aku mulai mengenalmu.
Dan rasaku telah mendalam. Untuk mencabutnya, mungkin, aku harus mengadakan sayembara seperti dalam serial dongeng Bawang Putih.
Sejak mengenalmu, aku sudah lupa caranya menangis. Lupa cara bersedih. Lupa cara mengeluh. Karena setiap aku ingin, aku selalu mengingatmu. Mengingat caramu berlaku. Dan keinginanku untuk itu punah. Seperti yang kukatakan padamu, kau memang satu-satunya obatku.
Aku bersyukur pada Tuhan, di tengah keraguanku melangkahi gurun yang memanggang, oase-oase yang sering aku dengar dari mulut orang benar-benar kutemukan, kini. Seolah kamu adalah zam-zam dan aku Ismail. Eh, atau sebaliknya?
Ah, aku tak peduli! Intinya, aku beruntung kenalimu.