Sabtu, 23 April 2016

Seribu Obat-ku

Ketukan yang lembut itu, membangunkanku dari isak yang sesak.
Ketukan yang membuatku merasa tahu bahwa di balik pintu itu ia sedang tersenyum.
Aku tahu ia memang sedang tersenyum, dan dengan sabar menanti tanganku membukakannya. Sabar menantiku untuk mempersilakannya masuk ke rumahkuhatiku.
Ia mengucapkan salam, lalu mengganti kata "permisi" dengan ucapan, "Hai, aku datang untuk mengembangkan senyummu. Penambat lara hatimu. Penghapus jejak air matamu. Seribu Obat untuk menghanguskan lukamu."
Dan entah mengapa, dengan rasa yang sama sekali aku tak tau namanya, aku membuka pintuku dan menyambutnya. Kilaunya melambankan akal sehatku, menghancurkan argumenku tentang cinta itu serpihan rasa yang tak mungkin utuh kembali.
Namun kini kebahagiaanku tersusun lagi!
Benar saja, senyumnya sedetik sudah membuatku bahagia. Hanya dengan itu. Bagaimana dengan yang lebih-dari-sekedar-senyuman?
Kusambut ulur tangannya. Ia membawaku pada dimensi bahagia yang tak dapat dibayangkan siapapun. Termasuk akuyang dulu.
Dan kini, jatuh cintaku nyata. Nyata karenamu, nyata dengan segala hatiku.
Jatuh cinta denganmu, Seribu Obat-ku.
"-ku"?  Iya, hanya punyaku.

Kamis, 21 April 2016

Kau Pernahi Aku

Terlampau berat. Ini sudah, aku tak sanggup.
Terlukis dalam benakku, sejenak tentang kehadiranmu di ujung hari; datang membawa sebuket kebahagiaan dan sunggingkan senyum termanisyang pernah kulihat.
Tapi itu hanya lukisan. L-U-K-I-S-A-N. Masih bersifat maya. Dan kemayaan itu, berarti kau tak nyata.
Tak nyata membahagiakanku, tak nyata tersenyum gula untukku.
Perasaanku mendidih, dengan segala kesedihan yang meluap.
Dan bagaimana aku meredakan keperihan ini? Seolah tertutup, tak ada lagi pintu yang dapat kulalui untuk meninggalkan kenanganmu.
Biar sajalah, ia terperangkap disini.
Namun, sebelum hujan menerpa habis, jejak langkahmu kucuri. Kusimpan dalam kotak hati.
Sebagai tanda bukti, kau pernah bersamaku, di sini.