Jumat, 10 Oktober 2014

Tuhan, Aku Ingin Dia!

Jujur, aku berharap semua yang dulu telah terjadi kini terulang. Di saat kita selalu meneba. Namun apa yang aku dapatkan jauh menentang. Aku mendapat ketidakpedulianmu. Aku mendapat kesunyian kata-katamu. Seluruh ragaku tak pernah mengerti maksud hatimu.
Aku ingin menjadi yang terbaik untukmu. Aku selalu ingin membuat lengkungan itu tersungging lagi di bibirmu. Aku selalu ingin menerkam jemari tanganmu. Aku ingin kita bersama kembali. Aku ingin tak ada lagi jarak kebencian terbentang antara kita Satu inci pun aku tak ingin.
Tapi aku sadar, ingin, tak harus menjadi nyata.

Hai, Selamat Bertemu Lagi!

Kenangan itu, kenangan yang kini menjelma layaknya butiran rindu. Cukup lama aku menyimpan itu dalam-dalam hingga hampir tak terraba. Namun apa daya? Kau nyatanya muncul tanpa dapat aku cegah. Seluruh awan meruntuh, menimpa lubuk kotak rindu yang mencuat. Seiring berjalannya waktu, rindu itu semakin melonjak, menuntutku untuk selalu ingin kembali bersamamu. Berulang kali mencoba lupa, namun nyatanya malah aku susah lupa.
Kau telah merangkul hati baru, meninggalkan serpihan rinduku yang pecah. Mencairkan gumpalan air di teropong hidupku. Menyempitkan saluran pernafasanku, hingga aku tak sanggup lagi berucap.
Inilah kesakitan yang kurasa.
Namun aku tak bisa memungkiri, kita memang, dan benar-benar bertemu lagi di sini.

Jumat, 07 Maret 2014

Sahabat Paling Jujur: HATI

Hai sahabat. Kamu tahu, aku bahagia sekali bertemu denganmu. Aku tak menyangka, bahwa kau yang akan selalu mengatakan realita kepadaku. Aku bahagia. Kau paling tidak bisa bohong. Entah mengapa, aku merasa jadi orang paling beruntung karena aku memilikimu.
Aku sangat berterima kasih karena kau telah menemani di tiap hariku. Terima kasih karena kau telah mendengarkan keluh kesah akan duniaku. Aku berjanji, jika kau sakit, maka aku akan mengobatimu seoenuh hati. Tak peduli harus dengan apa aku berbuat, aku akan selalu menjagamu.
Hei, Hati. Nanti malam, aku akan bercerita padamu. Tentang dia, yang selalu aku ceritakan padamu. Karena hari ini aku benar-benar merindukannya. Aku tau kau pendengar curhatanku yang paling setia, hingga akhir waktu. Benar bukan.
Dan kini aku sungguh menyadari bahwa sahabat paling jujur adalah kamu, Hati.

Minggu, 02 Maret 2014

Diamond Snow

Saat reruntuhan salju dari ranting tak berdaun memancarkan putihnya alam, cahaya matahari menembus dan memendar menjadi butiran intan gemerlap. Kerlipan yang menjadikan ia cantik tanpa harus ada yang meriasnya. Diamond Snow.
Diamond Snow tak pernah merasa sakit meski ia jatuh berulang kali di atas bumi yang berselimut salju. Diamond Snow selalu mencintai matahari yang memberinya cercahan cahaya. Selalu mencintai pagi yang membuat ia terlihat memesona.
Suatu saat nanti, aku ingin melihatnya denganmu, pangeran. Kau pernah mengerti mitos bahwa lawan jenis yang melihat Diamond Snow berdua akan merasa jatuh cinta, dan pasangan akan menjadi satuan yang tak terpisah? Aku berharap ini akan terjadi saat di sana, di depan Diamond Snow, ada aku dan kamu. Bukankah kau berharap kita akan selalu selamanya?

Selamat Datang, Cinta!

Inilah ketika aku melihat aura menenangkan datang dari arah hati. Melangkah pasti dalam haluan kasih. Membuat keyakinan kalbu yang sejuk nan menggenang. Membuat aku dapat merasa ingin terus di sisinya.
Ketakutanku akan cinta kini telah hilang ditelan waktu. Seiring hatimu merasukiku, aku semakin merasa ada. Hidupku kini tak berderit. Kamu membuat segalanya dalam hidupku berwarna.
Kini kamu berada di sisiku. Menyentuh hatiku dengan segala indah dan sayangmu. Kias cintamu membuatku merasa ini adalah sebuah keajaiban. Ajaib ketika kau dapat menjadi milikku, dekap diriku dalam lingkup kasih sayang.

Sekali lagi, selamat datang, cinta!

Penatku Menunggu Kepastianmu

Rasa ini tak pernah runtuh meski senyummu setengah hati untukku. Sebenarnya telah kusadari bahwa  rasaku akan bertepuk sebelah tangan. Hancur? Itu dapat kau tafsir sendiri. Ketika mataku terbuka, pedih udara sekitar serasa menusuk, meremukkan sukma lemahku. Perasaanku tak pernah sepenuhnya bahagia, juga tak pernah sepenuhnya sedih. Aku masih menunggu kepastianmu. Hingga ia menjadi fakta.
Penat seluruh raga memandang ketidakpedulianmu. Juga pnat ketika raga memandang senyum--yang entah tulus atau tidak. Karena sesungguhnya cintaku penat menunggu kepastianmu. Datanglah, maka aku akan menyayangimu seutuhnya.

Selamat Pagi, Edelweiss!

Pagi ini aku menghirup aromamu yang membawa sisa mimpi indah semalam ke alam nyata. Aku mengerti, keabadianmu akan selalu berbinar di tiap pasang mata insan. Tapi, apakah aku akan dapat membawamu ke realita nafas manusia? Apakah aku dapat memeluk, menggenggammu menuju kebahagiaan kalbu yang bersalju? Aku tak faham, apa kau marah ketika petikanku melepasmu dari habitmu? Bahagiakah kamu dengan keselamanyaan kembangmu?
Tak pernahkah kau mengerti selama ini aku cemburu padamu, karena kau selalu menjadi pusat kekaguman insan dunia? Bahkan dia yang selama ini selalu bersamaku pun menganggapmu lebih indah. Inikah hidup yang didominasi ketidakadilan dan ketidakpuasan?
Selamat pagi, Edelweiss, dapatkah kau berbagi keabadian denganku?