Minggu, 18 Desember 2016

Sepenggal Sepeninggal

Nyatanya?
Hahaha.
Aku begitu rendah; mudah sekali dibohongi, mudah sekali menganut rasa setiaku, untuk percaya.
Sampai detik terakhir pun, kamu bilang tidak. Kamu buat seolah-seolah aku yang terlalu posesif, overprotektif, curigaan, cemburuan, dan apalah itu terserah kamusmu. Padahal realitanya?
Sekarang, mulai detik ini, aku mempersilakan kalian semua, penduduk bumi, untuk menganggapku wanita paling bodoh di dunia!
Ah, hanya dengan kata-kata, aku bisa percaya? Bagaimana bisa? Dan dengan lemahnya aku mengalah atas segala yang telah terjadi? BODOHNYA AKU!
Dan karena buaya yang bisa menempuh pendidikan, aku terpuruk? Cuih, tak semudah itu!
Untuk doa-doa tentangnya yang terlanjur menggantung di awan, maaf, kalian sudah tak ada gunanya sekarang.
Untuk tempat-tempat yang pernah menjadi indah, maaf, mungkin lain kali akan ada yang lebih indah dari yang aku rasakan kemarin.
Untuk hujan yang pernah ikut merayakan bahagiaku dan bahagianya, maaf, lain kali aku akan buat kalian jatuh untuk sesuatu yang lebih berharga.
Untuk Pak Penjaga Stasiun, maaf sempat memancing emosimu, kini aku juga emosi. Apa ini karma, Pak?
Tapi hati, ini khusus untuk hati, jangan ada yang iri, tetap tegar, ya. Tetap jadi yang paling jujur, oke?

Terakhir, untuk kamu, makasih telah membuatku percaya pada sebuah kebohongan yang indah buatmu.

Kamis, 15 Desember 2016

Suaramu

Suara itu..
Suara siapa?
Suara itu, suara yang selalu hadir di fikiranku!
Aku beranjak dari lamunanku. Terdengar nada yang mengalun dengan lembut, gemitar yang dipetik. Suara itu begitu mendebarkan.
Kuarungi lorong-lorongku yang selama ini sepi dari rindu. Terus berjalan, sembari mencari asal suara indah itu. Suara itu seperti.. datang dari jauh, tetapi kurasakan ia dekat. Dekat pun, tak jua kutemukan siapa penyanyinya, siapa pengalunnya.
Semakin jelas, ia alunkan lagu-lagu cinta. Lagu-lagu yang seketika membuatku salah tingkah sendiri. Lagu-lagu yang membikinku tersenyum membungah. Semakin lama, nyanyian itu semakin mengenai hatiku. Jatuh sangat dalam. Syair-syair tentang rindu ia luapkan. Aku jadi tambah ingin segera menemukannya!
Langkah kupercepat, mataku lebih awas, telinga kutajamkan. Suara itu sudah terdengar dekat! Aku sudah tidak sabar lagi!
Dawai-dawai gitar yang terdengar semakin menggebu, penasaranku kian meninggi.
Hingga sekarang aku berhadapan dengan sebuah pintu.
Kubuka.
..
...
Kutemukan Ia duduk bersantai sambil memegang gitar. Senandungnya seketika berhenti, lalu ia mendongak ke arahku, tersenyum.
"Hai, akhirnya datang juga."

Minggu, 23 Oktober 2016

Sudah

Dan sebaiknya kita begini saja, mengikuti alur yang kamu buat sendiri.

Sebelumnya kita pernah bahagia bersama, mengempas setiap waktu yang berusaha mematikan kita. Kita pernah menembus hujan yang dengan kejamnya menumpas segala aktivitas di bumi, berdua. Dan tanpa kita sadari, bahwa kita juga mengerti bahwa tak ada yang abadi; termasuk kita.
Sebelumnya aku selalu memikirkanmu, tak peduli dalam bangun maupun tidurku. Aku selalu merindukanmu, dalam jarak dekat maupun jauh. Aku selalu bahagia karenamu, tak peduli berapa banyak yang ingin merenggutnya.
Sebelumnya aku merasa sebagai ratu di dunia, merasa terbahagia. Aku percaya bahwa akulah yang meratui segala bungamu. Aku percaya bahwa akulah yang selalu kau rindui, kau ingini hadirnya. Aku percaya bahwa hanya aku yang bisa membuatmu tersenyum semanis itu.
Dan sebelumnya, kau buat aku merasa teristimewa.
Tapi itu semua sebelumnya, sebelum kini aku ingin membuang segala kenangan tentang apa yang disebut dengan 'kita'. Hal paling pahit di sini adalah kenyataan bahwa yang sebabkan ini semua adalah kamu. Kamu sutradaranya.

Aku sudah sabar-sabar menghadapimu. Sudah ekstra-kuat menerima setiap berita yang terlintas di telinga. Terlampau bodoh untuk percaya bahwa bukan seperti itu kenyataannya. Ah, tak ada habisnya jika kuteruskan ini semua.
Terimakasih telah pernah menyemangatiku. Terimakasih telah pernah menemaniku merasakan indahnya berhujan. Terimakasih telah pernah memilihku di antara mereka yang lebih awal dekat denganmu ketimbang aku.

Tak apalah, Fi. Karenamu, aku jadikan ini semua pelajaran bahwa tak tentu yang kukira mencintaiku adalah yang juga menjadikan aku satu-satunya di hatinya. Beres.

Tapi mengapa aku masih menangis? Padahal kurasa aku kuat..

Rabu, 11 Mei 2016

Hujan (Berdua) Bersamamu

Ketika basah itu mengusapku lembut, rerintikan kecil melembabkan kerudungku, senyummu melengkapi. Hatiku berdesir. Otot bibirku melengkungkan senyum. Nefron konektorku seperti sedang berpesta. Bunga-bunga tumbuh di hatiku. Aku senang sekali! Hehe.
Mata kita saling meluapkan rindu. Kau tawarkan jas hitam itu kepadaku, sebagai tanda kekhawatiranmu. Aku menolak, walau sejujurnya aku sangat senang apabila bisa memakainya—seolah aku berada dalam pelukanmu. Hei, aku sangat canggung! Aku seperti sedang syuting di sinetron-sinetron labil yang sering aku cibir. Ternyata begini rasanya; jalan berdua denganmu—meskipun harus berjarak, berseberangan—di tengah hujan, dengan obrolan mini yang begitu kuharapkan sejak aku mengenalmu. Senyum lugu dan caramu berjalan, lucu sekali. Aku sempat merasa bahwa aku sedang bermimpi ketika kau bisa-bisanya mengambil hatiku.
Ingin rasanya aku mengacak-acak rambutmu yang berantakan itu. Membuatnya semakin berantakan, dan membuatmu semakin sebal. Sebalmu itu, aku sangat suka.
Mungkin kau memang masih seperti anak kecil; manja, sensitif, cemburuan. Haha. Tapi dengan semua itu, aku bahagia! Aku merasa benar-benar milikmu ketika kau cemburu, ketika kau membicarakan masa laluku dengan emotikon-emotikon cemberut. Aku suka cara-caramu berlagak seperti anak kecil. Kamu asyik banget, sih? Ah!
Hujanku, berjalan tanpa alas kaki sejajar berseberangan denganmu disusul dengan gombalmu yang super-sederhana itu, menyempurnakan hari-hariku! Bagaimana bisa, hm? Aku harusnya kau ajari, agar kau juga bisa merasakan betapa bahagianya aku bersamamu, jadi kita merasakan bahagianya sama-sama!
Sesungguhnya bahagiaku tak perlu serumit itu—kalau kau anggap itu rumit. Hanya dengan berdoa untukmu kepada-Nya, sudah membuatku bahagia tak kira-kira. Karena dengan itu, aku jadi tahu bahwa aku masih mampu mendoakanmu, dan kau ada yang mendoakan. Hehe.
Halo, sayangku? Aku sudah boleh memanggilmu sayang? Kalau tak boleh, mengapa? Padahal aku sudah sangat menyayangimu! Kalau boleh, ya sudah. Biar aku, kamu, dan Allah yang tahu. Ya?
Kembali kepada sore itu. Sore yang tak tanggung-tanggung membuatku membayangkanmu sepanjang hari hingga kini. Sore yang menyuburkan bunga-bunga perasaanku terhadapmu dengan air hujannya.
Derap langkahmu kuresapi. Ini pertama kalinya aku berdua denganmu! Ah, betapa senangnya! Aku jadi bisa mengamatimu dalam jarak dekat, merasakan kau yang selalu ada untukku, merasakan degup jantung kita yang berdetak cepat beriringan. Kau memang tidak sekeren segerombolan itu, tapi kesederhanaanmu yang menyempurnakan! Ah, tidak, kau menyihirku menjadi secerewet ini tentang cinta.
Terimakasih, menemaniku sore itu. Seolah punya sayap, sampai sekarang aku merasa masih belum sempurna memijak bumi. Karena aku masih tersangkut di hatimu.
Dan akan selamanya tersangkut. Saling mendoakan, ya?

Bumi hujanku dan hujanmu, 8 Mei 2016


Aku, dan hati yang kau buat senyum terus

Senin, 02 Mei 2016

Kenalimu

Di hari yang tak pernah aku faham apa yang akan terjadi.
Di hari yang bunga-bunga tumbuh di sela rerumputan.
Di hari yang Tuhan mempertemukan kita.
Tatapanmu menabrak pandanganku. Mata kita beradu, bertukar isyarat. Isyarat tanpa arti.
Lalu aku mengerti, jabat hatimu kutangkap. Dan aku mulai mengenalmu.
Dan rasaku telah mendalam. Untuk mencabutnya, mungkin, aku harus mengadakan sayembara seperti dalam serial dongeng Bawang Putih.
Sejak mengenalmu, aku sudah lupa caranya menangis. Lupa cara bersedih. Lupa cara mengeluh. Karena setiap aku ingin, aku selalu mengingatmu. Mengingat caramu berlaku. Dan keinginanku untuk itu punah. Seperti yang kukatakan padamu, kau memang satu-satunya obatku.
Aku bersyukur pada Tuhan, di tengah keraguanku melangkahi gurun yang memanggang, oase-oase yang sering aku dengar dari mulut orang benar-benar kutemukan, kini. Seolah kamu adalah zam-zam dan aku Ismail. Eh, atau sebaliknya?
Ah, aku tak peduli! Intinya, aku beruntung kenalimu.

Sabtu, 23 April 2016

Seribu Obat-ku

Ketukan yang lembut itu, membangunkanku dari isak yang sesak.
Ketukan yang membuatku merasa tahu bahwa di balik pintu itu ia sedang tersenyum.
Aku tahu ia memang sedang tersenyum, dan dengan sabar menanti tanganku membukakannya. Sabar menantiku untuk mempersilakannya masuk ke rumahkuhatiku.
Ia mengucapkan salam, lalu mengganti kata "permisi" dengan ucapan, "Hai, aku datang untuk mengembangkan senyummu. Penambat lara hatimu. Penghapus jejak air matamu. Seribu Obat untuk menghanguskan lukamu."
Dan entah mengapa, dengan rasa yang sama sekali aku tak tau namanya, aku membuka pintuku dan menyambutnya. Kilaunya melambankan akal sehatku, menghancurkan argumenku tentang cinta itu serpihan rasa yang tak mungkin utuh kembali.
Namun kini kebahagiaanku tersusun lagi!
Benar saja, senyumnya sedetik sudah membuatku bahagia. Hanya dengan itu. Bagaimana dengan yang lebih-dari-sekedar-senyuman?
Kusambut ulur tangannya. Ia membawaku pada dimensi bahagia yang tak dapat dibayangkan siapapun. Termasuk akuyang dulu.
Dan kini, jatuh cintaku nyata. Nyata karenamu, nyata dengan segala hatiku.
Jatuh cinta denganmu, Seribu Obat-ku.
"-ku"?  Iya, hanya punyaku.

Kamis, 21 April 2016

Kau Pernahi Aku

Terlampau berat. Ini sudah, aku tak sanggup.
Terlukis dalam benakku, sejenak tentang kehadiranmu di ujung hari; datang membawa sebuket kebahagiaan dan sunggingkan senyum termanisyang pernah kulihat.
Tapi itu hanya lukisan. L-U-K-I-S-A-N. Masih bersifat maya. Dan kemayaan itu, berarti kau tak nyata.
Tak nyata membahagiakanku, tak nyata tersenyum gula untukku.
Perasaanku mendidih, dengan segala kesedihan yang meluap.
Dan bagaimana aku meredakan keperihan ini? Seolah tertutup, tak ada lagi pintu yang dapat kulalui untuk meninggalkan kenanganmu.
Biar sajalah, ia terperangkap disini.
Namun, sebelum hujan menerpa habis, jejak langkahmu kucuri. Kusimpan dalam kotak hati.
Sebagai tanda bukti, kau pernah bersamaku, di sini.